Bisnis dan EkonomiKelautan dan PerikananLingkungan Hidup

Regulasi Pertambangan Rakyat Perlu Direvisi, DPR Diminta Perhatikan Kesejahteraan Masyarakat

Mataram (Rinjanipost) – Isu pertambangan rakyat kembali menjadi sorotan di Nusa Tenggara Barat (NTB). DetikNTB.com menggelar dialog publik bertajuk “Menghitung Untung-Buntung Izin Pertambangan Rakyat (IPR) NTB” yang menghadirkan sejumlah tokoh penting daerah. Dialog publik tersebut berlangsung meriah dengan dihadiri puluhan audiens dari elemen mahasiswa, OKP, aktivis, dan masyarakat, pada Jumat (5/9) di Bento Coffe Mataram.

Polemik pengelolaan pertambangan rakyat kembali mengemuka. Sejumlah kalangan menilai regulasi yang ada, mulai dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara hingga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, masih menyisakan persoalan serius di lapangan.

Salah satu kritik muncul terkait mekanisme rekomendasi yang hanya ditujukan melalui bupati tanpa mempertimbangkan peran lembaga sumber daya manusia (SDM). Kondisi tersebut dianggap membuka ruang eksploitasi berlebihan dan memakan waktu panjang dalam pengurusan izin.

“Seharusnya regulasi itu memberi kepastian agar masyarakat dapat mengelola lahan secara adil, bukan justru menjadi beban administratif yang rumit,” ujar Syamsul Fikri, Anggota DPRD NTB, yang turut menjadi narasumber dalam dialog tersebut.

Ia menegaskan bahwa DPRD NTB akan terus mengawal setiap kebijakan terkait pertambangan rakyat agar tidak merugikan masyarakat.

“Kita ingin memastikan bahwa izin pertambangan rakyat tidak hanya menjadi instrumen formalitas, tetapi benar-benar memberi manfaat bagi warga lokal. DPRD siap mendorong regulasi yang lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang,” tegas Syamsul.

Selain itu, aturan mengenai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) juga disebut masih belum sepenuhnya berpihak pada masyarakat. WPR sejatinya harus ditetapkan oleh kepala daerah, lalu disampaikan kepada pemerintah provinsi untuk kemudian disahkan. Namun di lapangan, implementasinya dinilai berbelit.

Contoh kasus banyak ditemui di Nusa Tenggara Barat, terutama di Sumbawa Barat dan Sumbawa, di mana masyarakat lokal sudah sejak lama mengandalkan sumber daya tambang emas dan mineral sebagai tumpuan ekonomi.

Undang-Undang terbaru, yakni Nomor 2 Tahun 2025, juga membuka ruang bagi organisasi keagamaan maupun akademisi untuk ikut serta dalam pengelolaan tambang. Meski demikian, wacana tersebut masih menimbulkan perdebatan. Sebagian pihak menilai masuknya elemen tersebut perlu dikawal ketat agar tidak menimbulkan konflik kepentingan.

“Yang paling penting adalah pemberdayaan tenaga lokal dan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Jika revisi regulasi benar-benar memperhatikan hal ini, tentu akan membawa manfaat besar,” lanjutnya.

DPR RI dalam waktu dekat dijadwalkan membahas lebih lanjut mengenai potensi revisi kebijakan pertambangan rakyat. Harapannya, regulasi yang dihasilkan bukan hanya menguntungkan negara melalui retribusi, tetapi juga menjamin kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah tambang. (Fen)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button