Revolusi yang Dikhianati! Ketika Semangat Berubah Jadi Kepentingan

Opini :
Oleh: Aditia Saputra (Ketua Komisariat FTK UIN Mataram)
Revolusi, dalam makna yang paling dalam, bukan sekadar sebuah perubahan cepat dan radikal terhadap suatu sistem yang usang. Ia adalah perjuangan kolektif yang lahir dari kesadaran akan ketimpangan dan ketidakadilan.
Sejarah telah mencatat dari Revolusi Prancis hingga Reformasi di Indonesia, bahwa revolusi mampu menjadi pemantik bagi lahirnya tatanan baru yang lebih adil. Namun kini, semangat revolusi kian melemah bahkan mati bukan karena kekuatan luar tetapi karena dikhianati dari dalam.
Banyak kalangan aktivis yang dahulu lantang meneriakkan tuntutan perubahan! Mereka turun ke jalan, menulis pamflet, menyuarakan kegelisahan rakyat.
Namun seiring waktu, sebagian dari mereka mulai senyap! Bukan karena revolusi telah tercapai, melainkan karena mereka telah memperoleh apa yang diinginkan! kekuasaan, jabatan, pengaruh, atau pengakuan. Ketika kepentingan pribadi telah terpenuhi, idealisme pun perlahan dikorbankan.
Ini adalah paradoks yang menyakitkan! revolusi dibunuh bukan oleh musuh, tetapi oleh mereka yang pernah menghidupkannya! Teriakan “perubahan” berubah menjadi bisikan kompromi.
Kata “perjuangan” digantikan dengan kata “posisi”! Mereka yang dulu berdiri di garis depan justru kini nyaman berada dalam sistem yang dahulu mereka kecam. Padahal, dalam sejarahnya.
revolusi mengandung pesan yang sangat penting! perubahan sejati tidak berhenti pada teori atau narasi Ia menuntut tindakan konkret. Perubahan sosial tidak akan terjadi jika hanya berhenti pada diskusi intelektual atau seminar-seminar akademik.
Dibutuhkan keberanian untuk bergerak, menghadapi risiko, dan konsisten dengan nilai-nilai yang diperjuangkan. Dalam konteks ini, pemikiran Paulo Freire melalui konsep praxis menjadi sangat relevan.
Freire, dalam karya terkenalnya Pedagogy of the Oppressed, menekankan bahwa praxis adalah tindakan reflektif yang sadar, yaitu gabungan antara refleksi kritis dan aksi nyata.
Bagi Freire, transformasi sosial tidak bisa dicapai hanya dengan berpikir atau berbicara; ia menuntut keberanian untuk bertindak! Tanpa praxis, revolusi hanya menjadi simbol kosong.
Kondisi saat ini memperlihatkan bahwa banyak gerakan yang kehilangan praxisnya. Aktivisme menjadi gaya hidup semu! lebih fokus pada citra dibandingkan substansi.
Kampanye digital menggantikan aksi lapangan, dan suara-suara kritis dikomodifikasi untuk kepentingan politik atau pribadi! Tentu, ini bukan berarti bahwa semua aktivis kehilangan arah.
Masih ada segelintir yang berjuang dalam diam, yang tetap konsisten di tengah arus pragmatisme. Namun, realitas yang dominan menunjukkan bahwa revolusi kini terpinggirkan, jika tidak ingin dikatakan telah dikubur.
Maka, penting bagi kita untuk merenung dan bertanya? apakah kita masih benar-benar percaya pada perubahan? Atau jangan-jangan kita hanya mencintai ide tentang revolusi, tetapi takut dengan konsekuensinya?
Bila revolusi telah dikhianati, maka tugas kita bukan sekadar mengenangnya melainkan menghidupkannya kembali. Revolusi tidak mati! Ia hanya tertidur, menunggu mereka yang berani membangunkannya dengan tindakan nyata. (Fen)