
Oleh: Abdul Halik*
Mataram, (Rinjanipost) – Festival Olahraga Rekreasi Masyarakat Nasional (FORNAS) VIII tahun 2025 yang digelar di Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan momentum penting, tidak hanya dalam konteks pembinaan olahraga masyarakat, tetapi juga promosi pariwisata dan budaya daerah.
NTB, dengan Lombok sebagai ikon pariwisatanya, dikenal luas sebagai “Pulau Seribu Masjid” — julukan yang mencerminkan identitas keislaman yang kuat dan nilai-nilai kesopanan yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.

Namun demikian, dalam euforia FORNAS VIII ini, muncul sebuah polemik yang cukup menyita perhatian publik. Salah satu cabang olahraga mempertontonkan kostum yang dinilai terlalu terbuka dan dianggap tidak sesuai dengan norma sosial dan budaya lokal.
Aura penampilan yang menyerupai pemakaian “celana dalam dan BH” di ruang publik menimbulkan perdebatan, terutama karena lokasi penyelenggaraan adalah Lombok — sebuah daerah yang mengakar pada nilai religius dan adat ketimuran.
Dalam konteks ini, perlu ada refleksi kritis dari semua pihak: panitia penyelenggara, pemerintah daerah, maupun federasi olahraga yang terlibat. Olahraga, pada dasarnya, adalah ekspresi kebugaran, kompetisi sehat, dan hiburan. Namun, ketika dibawa ke ruang publik yang memiliki norma sosial tertentu, aspek kultural tidak boleh diabaikan. Ada garis batas antara kebebasan berekspresi dan kepekaan terhadap lingkungan sosial yang menjadi tuan rumah kegiatan tersebut.
Sebaliknya, masyarakat lokal juga diajak untuk bersikap bijak dan tidak serta-merta menolak hal-hal yang baru. Dialog antarbudaya sangat penting untuk membangun pemahaman bahwa tidak semua bentuk olahraga rekreasi harus dianggap vulgar, namun perlu disesuaikan penyajiannya agar tidak menimbulkan kegaduhan kultural.
Jika NTB ingin terus memosisikan dirinya sebagai destinasi wisata internasional — yang mampu menarik wisatawan mancanegara sekaligus tetap menghormati identitas lokal — maka kunci utamanya ada pada harmoni. Perlu panduan yang jelas dari pemerintah daerah untuk setiap event nasional dan internasional agar tetap berada dalam koridor “wisata ramah budaya”, bukan semata-mata karena faktor agama, tetapi demi keberlanjutan sosial yang inklusif.
FORNAS VIII adalah panggung kebhinekaan olahraga dan ekspresi budaya. Tapi seperti dalam olahraga itu sendiri, permainan yang indah lahir dari aturan yang disepakati bersama. Kita berharap, ke depan, NTB dapat terus menjadi tuan rumah yang baik — ramah tamu, tapi tetap setia pada jati diri.
*Penulis adalah pecinta dan penikmat olahraga
Editor: Fendi Marero