HMI Cabang Mataram Bongkar Tantangan dan Kelemahan Program Desa Berdaya NTB
(Rinjanipost) – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Mataram menggelar dialog publik bertajuk “Pemberdayaan atau Formalitas? Menguji Efektivitas Program Desa Berdaya NTB” di Mataram, Selasa (29/10).
Kegiatan ini menghadirkan sejumlah pemateri dari Tim Percepatan NTB, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) NTB, serta tokoh muda NTB yang menyoroti capaian dan tantangan pelaksanaan program Desa Berdaya.

Sudirman, sebagai ketua umum HMI Cabang Mataram, dalam pengantarnya, menyampaikan bahwa tema dialog ini lahir dari kebutuhan untuk mengkritisi efektivitas program Desa Berdaya yang digagas Pemerintah Provinsi NTB.
Program tersebut disebut menargetkan lebih dari 1600 keluarga miskin ekstrem agar keluar dari lingkaran kemiskinan melalui pemberdayaan sosial dan ekonomi.
“Kita ingin menguji sejauh mana efektivitas program ini dalam membangun kemandirian masyarakat serta keberlanjutan ekonomi desa,” ujarnya di hadapan peserta dialog.
Perwakilan Tim Percepatan NTB Giri Arnawa, dalam pemaparannya menjelaskan bahwa Desa Berdaya merupakan salah satu dari sepuluh program unggulan Pemprov NTB.
Program ini berfokus pada penguatan ketahanan pangan, pembangunan ekosistem industri pertanian, serta peningkatan kapasitas masyarakat desa.
“Kita tidak hanya bicara ketahanan pangan, tapi kedaulatan pangan. Kalau kita berdaulat, NTB akan lebih stabil dalam konteks ekonomi dan sosial,” tegas Giri.
Ia menambahkan, program Desa Berdaya Transformatif menargetkan 16.876 kepala keluarga atau sekitar 44 ribu jiwa.
Setiap desa akan didampingi minimal dua tahun untuk memastikan masyarakat benar-benar keluar dari kemiskinan ekstrem dan mampu mandiri secara ekonomi.
Sementara itu, Kepala DPMD NTB Lalu Hamdi, menegaskan bahwa penanganan kemiskinan tidak bisa dilakukan secara serampangan.
Menurutnya, intervensi harus diawali dengan identifikasi potensi desa dan data penerima manfaat yang akurat.
“Kita harus tahu siapa yang benar-benar miskin dan apa potensi yang dimiliki desa. Jangan asal bantu,” tegas Hamdi.
Ia menjelaskan, pelaksanaan Desa Berdaya dilakukan secara bertahap hingga tahun 2029, menyesuaikan dengan kemampuan anggaran dan kesiapan desa.
Program ini mencakup dua model utama, yakni Desa Tematik dan Desa Transformatif, dengan total 1.166 desa dan kelurahan sasaran.
Beberapa tema pengembangannya meliputi Desa Bebas Kemiskinan, Desa Hijau, Desa Belajar, hingga Desa Taat Pajak.
Hamdi menekankan bahwa keberhasilan program ini bergantung pada kolaborasi lintas sektor.
“Pemerintah provinsi tidak bisa jalan sendiri. Butuh sinergi dengan pemerintah pusat, kabupaten, desa, dan mitra pembangunan,” katanya.
Lebih lanjut Furqan Sangiang, pemateri ketiga mengajak anak muda NTB untuk mengambil peran dalam pembangunan desa.
Menurutnya, sektor pertanian dan peternakan saat ini didominasi oleh pekerja berusia lanjut, sementara minat generasi muda untuk kembali ke desa masih rendah.
“Ujung tombak pemberdayaan itu anak muda. Kalau mereka tidak dilibatkan, desa akan sulit berdaya,” ujar Furqan.
Ia mencontohkan keberhasilan negara seperti Jepang dan Jerman yang mampu menarik generasi muda kembali ke desa dengan memberi akses ekonomi dan otonomi yang lebih besar.
Furqan juga menyoroti potensi besar sektor peternakan NTB yang mencapai ratusan miliar rupiah setiap tahun, namun belum dikelola optimal karena kurangnya partisipasi pemuda.
Dialog publik yang berlangsung interaktif ini menghasilkan kesimpulan bahwa keberhasilan Desa Berdaya tidak bisa diukur dari jumlah bantuan atau proyek, melainkan dari sejauh mana masyarakat benar-benar mandiri dan mampu meningkatkan kesejahteraan sendiri.
HMI Cabang Mataram menegaskan komitmennya untuk terus mengawal implementasi program ini agar tidak berhenti pada tataran formalitas, tetapi menjadi gerakan nyata pemberdayaan masyarakat di NTB.
” Kita berharap dialog ini melahirkan rekomendasi yang konkret bagi pemerintah daerah dan mitra pembangunan, agar Desa Berdaya benar-benar berdampak pada kehidupan rakyat,” tutup moderator kegiatan. (Fen)



