Lingkungan HidupOpini

Menghitung Untung-Buntung Izin Pertambangan Rakyat di NTB

Oleh: Ibrahim Bram Abdollah*

Rinjanipost – Dorongan untuk melegalkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) kembali mencuat di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pemerintah daerah, organisasi kepemudaan, hingga sebagian anggota legislatif menyebut IPR sebagai solusi untuk mengatasi tambang ilegal sekaligus membuka jalan bagi kesejahteraan masyarakat.

Namun, di balik optimisme tersebut, ada realitas pahit yang tak boleh diabaikan: IPR berpotensi jadi berkah semu bila tidak disertai tata kelola yang serius.

Janji Manis di Atas Emas

Kita masih ingat bagaimana Sekotong, Lombok Barat, pada awal 2008 berubah menjadi “kota tambang dadakan”. Ribuan orang menyerbu bukit, menebang hutan, menggali tanah dengan peralatan seadanya demi sebutir emas.

Alih-alih membawa kesejahteraan, tambang rakyat justru meninggalkan lubang-lubang menganga, hutan gundul, dan sungai tercemar merkuri. Skenario serupa juga terjadi di Dompu dan Sumbawa, di mana “demam emas” menjelma menjadi demam sosial, konflik lahan, kecelakaan kerja, hingga meningkatnya kriminalitas.

Legalitas melalui IPR disebut bisa mengatasi semua itu. Benarkah? Dalam banyak kasus di NTB, izin justru hanya menjadi “stempel resmi” bagi praktik yang tetap dikendalikan oleh cukong. Rakyat mungkin mendapat pengakuan hukum, tetapi tetap menjadi pekerja kasar yang terjebak dalam lingkaran risiko: paru-paru rusak karena debu, tubuh diracuni merkuri, hingga nyawa melayang di lubang tambang.

Siapa Untung, Siapa Buntung?

Untungnya, pemerintah bisa memperoleh pendapatan daerah dari retribusi, penambang merasa lebih aman, dan koperasi tambang bisa dibentuk sebagai wadah legal. Bagi politisi, isu ini juga seksi—menunjukkan kepedulian terhadap “ekonomi rakyat”.

Buntungnya, kerusakan lingkungan nyaris pasti tak terhindarkan. Laporan WALHI NTB beberapa tahun lalu mencatat lebih dari 5 ribu hektare hutan rusak akibat tambang rakyat di Sekotong dan Dompu. Sungai-sungai tercemar, lahan pertanian kehilangan produktivitas. Biaya sosial dan ekologis ini jauh lebih mahal dibanding royalti yang masuk kas daerah.

Lebih gawat lagi, pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa tambang rakyat selalu rentan “dibajak” pemodal besar. Di Dompu, misalnya, banyak tambang rakyat beroperasi dengan modal dari luar daerah. Rakyat hanya dijadikan wajah depan untuk mendapatkan IPR, sementara keuntungan mengalir ke segelintir orang.

Bom Waktu Sosial

Legalitas tanpa pengawasan ibarat menyimpan bom waktu. Konflik horizontal soal batas wilayah tambang sudah sering pecah, bahkan menimbulkan korban jiwa. Polisi kerap turun tangan, tapi konflik mereda hanya sementara. Ketika izin dibagi tanpa transparansi, masyarakat saling curiga, dan cukong di belakang layar tetap bebas bermain.

Artinya, IPR bukan solusi otomatis. Alih-alih meredam, legalisasi tambang rakyat bisa jadi justru memperbesar eskalasi konflik sosial di NTB.

Jalan Tengah: Tata Kelola atau Hancur Lebur

Kalau pemerintah benar-benar serius menjadikan IPR sebagai instrumen kesejahteraan rakyat, syaratnya jelas:

1. Pembatasan wilayah yang ketat dan berbasis kajian lingkungan, bukan sekadar kepentingan politik.

2. Teknologi ramah lingkungan wajib diterapkan, terutama untuk menghapus penggunaan merkuri.

3. Koperasi rakyat yang transparan agar izin tidak jatuh ke tangan cukong.

4. Pengawasan berlapis dari dinas ESDM, aparat hukum, hingga masyarakat sipil agar tambang rakyat tidak jadi kedok industri gelap.

Tanpa itu, IPR hanya akan melegalkan praktik tambang liar dengan cat stiker pemerintah. Rakyat tetap buntung, lingkungan rusak, dan daerah kehilangan masa depan.

Kapolda NTB dan Jalan Baru Koperasi Tambang Rakyat

Gagasan Kapolda NTB Irjen Pol Hadi Gunawan menginisiasi terbentuknya Koperasi Tambang Rakyat patut diapresiasi sekaligus dikritisi. Apresiasi, karena upaya ini mencoba mencari jalan tengah di tengah peliknya persoalan tambang ilegal yang sudah bertahun-tahun menjadi bom waktu di Nusa Tenggara Barat.

Kritik, karena ide sebesar ini tidak boleh berhenti sebatas jargon tanpa skema jelas yang menjawab problem struktural: konflik sosial, kerusakan lingkungan dan oligarki izin.

Tambang rakyat di NTB bukan sekadar soal batu, emas, atau pasir. Ia adalah realitas hidup ribuan masyarakat desa yang menggantungkan napasnya pada tanah yang digali.

Mengkriminalisasi mereka tanpa solusi justru melahirkan ketidakadilan baru. Karena itu, gagasan koperasi sebagai wadah legalisasi tambang rakyat bisa menjadi exit strategy dari praktik tambang ilegal.

Namun, kita harus jujur: pengalaman selama ini menunjukkan koperasi sering hanya jadi “tameng” segelintir elit lokal. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, koperasi bisa berubah jadi perpanjangan tangan cukong tambang. Apakah Kapolda NTB siap memastikan koperasi tambang benar-benar dikelola rakyat, bukan oligarki berkedok koperasi?

Lebih jauh lagi, koperasi tambang harus meletakkan sustainability sebagai prinsip dasar. Tidak ada gunanya rakyat kaya mendadak tapi mewariskan kerusakan ekologi permanen.

Kapolda NTB memang punya niat baik, tapi niat saja tidak cukup. Koperasi tambang rakyat harus dibangun dengan prinsip: partisipasi, transparansi, lingkungan hidup, dan kesejahteraan berkelanjutan. Pemerintah daerah, akademisi, dan lembaga independen lingkungan harus ikut mengawasi, agar rakyat tidak hanya dijadikan stempel legalitas.

Pada akhirnya, inisiatif Kapolda NTB ini bisa tercatat dalam sejarah sebagai langkah visioner yang mengubah wajah pertambangan rakyat. Atau justru dikenang sebagai proyek gagal yang melanggengkan tambang ilegal dalam “baju koperasi”. Semua tergantung pada konsistensi, integritas, dan keberanian menolak praktik rente yang sudah lama menggurita.

Pengajuan IPR

16 blok WPR di NTB telah disetujui menjadi wilayah pertambangan rakyat (WPR) berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 89 Tahun 2022. Sembilan di antaranya berada di Sumbawa (termasuk Sumbawa Barat), dan 5 di Lombok Barat, serta beberapa tersebar di Bima dan Dompu. Total luasnya sekitar 400 hektare.

Dari 16 WPR itu, baru satu Koperasi “Selonong Bukit Lestari” di Sumbawa yang telah menerima Izin Pertambangan Rakyat (IPR) pada 12 Juli 2025. Hal ini menjadi IPR pertama di Indonesia yang diberikan secara khusus kepada koperasi.

Saat ini, sekitar 60 koperasi telah mengajukan izin, dan 16 di antaranya telah mendapat persetujuan dari pemerintah pusat untuk membentuk koperasi tambang rakyat—yang menjadi pilot project di berbagai wilayah seperti Bima, Dompu, Sumbawa, Sumbawa Barat, dan Sekotong.

Penutup

NTB tidak kekurangan contoh buruk dari tambang rakyat. Sekotong adalah cermin, Dompu adalah peringatan, Sumbawa adalah pelajaran. Menghitung untung-buntung IPR berarti berani menimbang: apakah kita rela menukar hutan dan sungai dengan beberapa kilogram emas jangka pendek? Atau, kita mau membangun tata kelola tambang rakyat yang benar-benar adil, ramah lingkungan, dan berkelanjutan?

Karena pada akhirnya, izin hanyalah kertas. Yang menentukan adalah niat politik dan keberanian mengawasi.

*Penulis Adalah Pimpinan Redaksi Media Online DetikNTB.com

Editor: Fen/Rinjanipost

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button